Novel : Lolipop

harga : 45.000

ID : yzalfaaa

 

51GIZ8biOhL._SY344_BO1,204,203,200_

Ketika Waktu Telah Berlalu

131Aku memandangi kamar ini untuk kesekian kalinya. Yang tergambar dalam benakku sangatlah jelas dan tidak berubah. Aku teringat kenangan-kenangan bersamanya, kenangan yang tak akan aku lupakan begitu saja. Aku teringat bagaimana ia selalu ada di sampingku saat senang maupun susah, karena ia selalu mengerti bagaimana membuatku tersenyum.

Aku seperti dihantam sesuatu. Aku tahu, ini menyakitkan, tetapi aku harus kuat sebagaimana ia berpesan. Ya! Aku tidak akan lagi bertemu dengannya, dihibur olehnya. Bayangan singkat kehidupanku dengannya kembali tergambar jelas, seperti di depanku terdapat sebuah proyektor yang menampilkannya.

Bayangan itu membawaku ke saat-saat dimana aku dan dia pertama kali berkenalan saat aku keliru menaruh barang-barangku di dalam lokernya. Dia tertawa, aku tertawa. Aku menanyakan namanya dan dia menanyakan namaku. Pada saat kenaikan kelas, kami memasuki kelas yang sama.

Kami semakin akrab dengan tempat duduk kami yang diatur berdekatan. Baru aku tahu saat itu bahwa rumahku dan rumahnya hanya berbeda beberapa gang. Ia pun tidak jarang datang ke rumahku untuk mengerjakan tugas. Aku ingat sekali bagaimana saat itu, kami tidak mengerjakan tugas melainkan ke taman dan mengukir nama kami berdua pada sebatang pohon. Kami menambahkan ‘Best Friend Forever’ di bawah nama kami.

Saat lelaki yang sedang kusuka berpacaran dengan perempuan lain, ia menghiburku, merangkulku dan melontarkan candaan-candaan yang membuatku tertawa. Ia tahu apa yang kurasakan walaupun aku tidak mengatakannya. Ia bahkan tahu lelaki yang kusuka walaupun aku tidak pernah menceritakan apapun kepadanya. Ialah yang menjadi alasan mengapa aku dapat kuat hingga detik ini.

Bayangan itu dengan segera berganti ke saat-saat dimana aku sangat panik karena melupakan tugas yang harus dikumpulkan keesokan harinya. Aku menelponnya, dengan harapan ia dapat menenangkanku. Ternyata benar, ia menenangkanku dengan datang ke rumahku dan membantuku membuat tugas hingga selesai, padahal saat itu hari sudah gelap dan kami menyelesaikannya tepat pada saat ayam berkokok pertama kali. Di sela-sela mengerjakan tugas, ia juga sabar mendengarkan cerita-ceritaku tanpa kuberikan kepadanya kesempatan sedikit pun untuk berbicara.

Aku kembali menyapukan pandanganku dan melihat satu lembar tiket konser Miley Cyrus, penyanyi luar Indonesia yang paling kami kagumi. Aku mengambilnya dan lagi-lagi pikiranku dipenuhi oleh bayang-bayang. Saat itu, kami duduk di kelas 2 SMA dan sedang menjalani ulangan akhir semester I, lalu kami mendapat kabar bahwa Miley Cyrus akan mengadakan konser di Jakarta. Kami sangat senang sekaligus bingung bagaimana caranya untuk menonton konser tersebut, karena pastinya kami tidak diizinkan.

Aku ingat sekali bagaimana kami menyusun rencana hingga akhirnya kami mendapatkan kesepakatan. Kami pun membeli tiket konser tersebut dengan uang hasil tabungan kami. Tetapi saat hari konser, entah dorongan darimana, aku mengubah rencana dan bersikeras untuk tetap menjalankan rencana yang kubuat. Ia pun dengan sabar menyetujuinya dan kami menjalankan rencana yang kubuat.
“Kau mau ke mana?” tanya papaku saat itu.
“Aku mau ke rumah Iva, Pa.”
“Jangan bohong, Ta, tadi waktu papa ke luar, papa lihat Iva dengan tasnya, kelihatannya dia mau pergi. Papa tahu kau merencanakan sesuatu.”

Begitulah pada akhirnya, karena aku, kami tidak jadi menonton konser Miley. Aku tahu, Iva sangat marah kepadaku. Aku tahu, ia akan benci sekali padaku dan tidak akan percaya pada kata-kataku lagi. Atau mungkin, itu hanyalah perkiraanku.

Nyatanya, setelah kejadian itu, ia tidak menyinggung kesalahanku. Ia malah menguatkanku karena ia tahu bahwa sebenarnya aku sangat ingin menonton konser tersebut.
“Ta, sabar ya! Nanti setelah ulangan akhir ini kita cari-cari konser Miley lagi, sampe ke luar kota pasti dibolehin kok! Sekalian liburan, sekalian nonton konser.”

Ia sama sekali tidak menyalahkanku. Ia sama sekali tidak mencoba untuk mengguruiku. Aku sangat bahagia telah mengenalnya.

Tetapi aku tidak menduga, bahwa kata-kata yang ia janjikan padaku tidak akan pernah ditepatinya. Bukan, bukan karena ia tidak mau, tetapi keadaan telah sepakat untuk menyiksanya.
“Ta, aku harus pergi ke Singapore, aku harus berobat ke sana. Aku sakit, kanker otak.”
“Kamu pasti bercanda…”
“Aku serius. Tetapi, aku akan berusaha untuk kembali ke sini, kok. Aku janji kita bisa ketemu lagi.”

Sejak kepergiannya, kami rutin bertukar e-mail, sekedar menanyakan kabar hingga bercerita yang macam-macam. Saat itu sangat menggembirakan, hingga aku menyadari bahwa waktu sangat berharga. Aku tidak tahu kapan kami akan berpisah. Aku tidak menanyakannya karena aku tahu, itu semua hanya akan memperburuk keadaan. Biarlah hari demi hari berlalu, dengan matahari yang masih menerangi bumi. Biarlah jarak mengambil alih, karena aku tahu, semua akan indah pada waktunya.
“Ta…”

Kudengar seseorang memanggil namaku, seseorang dengan suara bariton yang khas. Mario, kakak laki-laki Iva yang belakangan menjadi sahabatku, lebih dari sahabatku lebih tepatnya. Ia sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Ia pun sudah menganggapku sebagai adiknya sendiri setelah ia kehilangan Iva.

Aku tahu, di antara kami, orang-orang terdekat Iva, kakak laki-lakinya-lah yang paling kehilangan, karena ia dan Iva telah bersama sejak kecil. Mario, kakak yang tegar dan selalu menemani Iva saat ia berobat. Mario, kakak yang setia sampai-sampai ia pindah kuliah ke Singapore untuk mendampingi Iva dalam menjalani masa kritisnya.

Aku tidak habis pikir, seseorang sebaik Mario harus menjalani cobaan yang begitu berat. Apakah ketidakadilan di dunia begitu kentalnya sehingga harus menyiksa semua orang yang benar dan menyenangkan semua orang yang salah? Apakah mungkin balasan untuk semua orang benar akan diterima setelah mereka mendapatkan kehidupan yang kekal? Kuharap begitu.
“Ta, kangen sama Iva?” kata Mario mencegah pikiranku untuk berkelana terlalu jauh.

Aku hanya tersenyum, mewakili perasaanku sebenarnya.
“Relakan dia, jangan jadikan kepergiannya sebagai beban dalam hidup. Yakinlah, ia sedang menyiapkan sesuatu yang terbaik di atas sana, bagimu, bagiku, bagi semua orang yang disayanginya. Ia telah sampai di ujung dunia, Ta. Bila saatnya tiba, kita juga akan sampai di sana dan kembali bertemu dengannya. Aku yakin, saat sampai di sana, persiapannya telah selesai. Kau akan menemukan apa yang kau butuhkan, sahabat, keluarga, saudara, dan semuanya abadi, selamanya.”

Aku kembali tersenyum dan membiarkan diriku dirangkul oleh Mario.
“Kak, aku boleh minta sesuatu?”
“Tentu.”
“Jangan pernah tinggalkan aku, ya…”

Mario tersenyum dan perasaanku tenang seketika. Saat itu juga aku sadar, hidupku dikelilingi orang-orang yang baik, karunia dari Tuhan. Dalam hati, aku bertekad untuk memulai hidup yang baru, lembaran pertama dalam sekuel buku yang berjudul kehidupan. Lembaran pada buku pertama telah terisi sampai lembaran terakhir, dipenuhi tentang kenanganku dengan Iva. Saat ini, aku siap memulai lembaran baru pada buku yang baru, dan aku sudah tidak sabar, apa yang akan kuhadapi setelah ini. Aku akan menjalani lembar demi lembar dengan sikap yang baru, Tata yang telah berubah.

My Little Friendship

Frendship-Quotes-14Kicauan burung di pagi hari ini sangat menyejukkan hatiku yang sedang gundah.
“Cheiril! Kemari!” panggil Mischa.
“Ada apa, Mischa?”
“Lihat! Ada murid baru!” tunjuknya.
Aku melihat murid baru itu berjalan lenggak-lenggok layaknya model. Dia berjalan dengan sombongnya. Sombong sekali dia! batinku. “Dia di kelas apa?” tanyaku kemudian.
“Hmm…” Mischa tampak berpikir. “Di kelas kita, Cher,” ujarnya memanggilku dengan panggilan akrabku, Cher.
“Apa?!” pekikku kaget.
“Kamu kenapa, Cher?”
“Dia sangat sombong, Cha!”
“Ya, kurasa begitu.”
“Lihatlah cara ia berjalan. Tak pantas menjadi murid di sekolah teladan ini!” seruku berlari meninggalkan Mischa.
Mischa menghela napas, lalu mengejarku. “Cheiril! Tunggu aku!”

More

Bestfriend

cute-friendship-quotes-friends-are-like-stars_largeNamaku Michelle, sekarang aku kelas 11. Aku memiliki 4 sahabat 3 cewe termasuk aku dan 2 laki -laki yang cewe bernama tasya,milly,allexa dan termasuk aku michelle, sedangkan yang cowo bernama matthew dan rasya. Kita berlima udah sahabatan dari kelas 8 SMP,kita semua bakalan ada buat sahabat kita baik itu suka maupun duka. Dulu sempat ada cerita cinta segitiga diantara michelle,tasya dan matthew ,sebenarnya aku yang suka sama matthew dan aku cerita kepada tasya dan allexa ,tanpa aku ketahu tasya juga menyukai matthew tapi itu sudah sejak kelas 9 aku tuidak mau mengungkitnya kembali. More

Chris Colfer

chris-colfer-4Colfer’s first TV role came in 2009 when he was cast as Kurt Hummel on Fox‘s Glee. Kurt is a fashionable gay countertenor who is routinely bullied at school, not only for being gay, but also for being part of the very unpopular Glee Club. Colfer auditioned for the part of Artie Abrams, who uses a wheelchair, a role which eventually went to Kevin McHale.[19] The show’s creator, Ryan Murphy, was so impressed with Colfer that he created the role of Kurt specifically for him,[21] and in the process, scrapped a planned character called Rajish so they could add Kurt. Murphy explained in the season two finale of the Glee Project that Colfer was the inspiration for the project show because he didn’t fit the role he auditioned for but was still “incredible and special” so a role was created for him.[22]

Jenna Ushkowitz, Colfer and Heather Morris during a performance of “Single Ladies” on the tour Glee Live! In Concert!in 2011

More

Darren Criss

1212269-darren-criss-glee-617Darren Everett Criss (born February 5, 1987) is an American actor, singer, songwriter, and musician. One of the founding members and co-owners of StarKid Productions, a musical theater company based in Chicago, Illinois, Criss first garnered attention playing the lead role of Harry Potter in StarKid’s musical production of A Very Potter Musical. The theater troupe made Billboard history when their original album, Me and My Dick, became the first charting student-produced musical recording, debuting at number eleven on the Top Cast Albums chart in 2010.

More

Cory Monteith

cory-monteithIn 2009, Monteith was cast in the Fox series Glee. He portrayed Finn Hudson. When Glee was being cast, Monteith’s agent, Elena Kirschner, submitted a video of him drumming with some pencils and Tupperware containers. Series creator Ryan Murphy took notice of the video, but pointed out that he had to be singing, as auditioning actors for Glee with no theatrical experience were required to prove they could sing and dance as well as act.[24][25] Monteith submitted a second, musical tape, in which he sang, in his own words, “a cheesy ’80s music video-style version” of REO Speedwagon‘s “Can’t Fight This Feeling“.[25] He then attended a mass audition in Los Angeles; his vocal skills were considered weak, but he later performed very well with one of Glee ’​s casting directors, who said that his audition captured the most elusive quality of Finn’s: his “naive, but not stupid, sweetness.”[24] Monteith said of his casting process, “I was like a lot of kids, looking for something to be interested in. Something to be passionate about. All you need is permission. Not only for Glee, but for anything in life.”[24]

More

Glee – National Season 3

Glee – Rather Be

Naya Rivera

Naya-Rivera-Photos-1In 2009, Rivera was cast as Santana Lopez, a high school cheerleader, on Fox‘s musical comedy series, Glee, about a high school glee club. Rivera’s character comes off as a cold-hearted and vicious cheerleader, who often shows her softer side to fellow cheerleader Brittany (played by Heather Morris). Rivera auditioned for the opportunity “to sing, dance and act all in the same show,” and because she was a fan of co-creator Ryan Murphy‘s previous work on Nip/Tuck.[13] Rivera drew on her own high school experience of unpopularity to prepare for the role, as well as watching films such as Mean Girls to “really get in the zone and feel like a bitchy sophomore.”[16] She has described Santana as “your typical high school cheerleader, for the most part,” explaining: “She’s really mean and loves boys. She’s really witty so I love playing her.”[16] She has characterized Santana as “a bit of a bad girl” who is “really snarky and always has these really witty one-liners she throws out there.”[17] Rivera enjoys the fact Santana is competitive and headstrong as she herself shares those traits, but dislikes Santana’s mean streak.[18] She finds the show’s pacing challenging, especially the dancing, and commented in June 2009 that her most memorable moment on Glee was performing the Cheerios’ glee club audition piece, “I Say a Little Prayer“.[16] Santana played a more prominent part in the last nine episodes of Glee ’​s first season.[19] Rivera commented: “Santana’s been wreaking havoc with people’s boyfriends and people’s babies and teachers – she’s the high school terror, and she’s going to continue to be the villain.”[20]

More

Previous Older Entries